Hukum  

Pakar Hukum Nilai Sejumlah Pasal di RUU KUHAP Mencerminkan Kemunduran

Media Okgassnews.com Di MALANG – Pakar Hukum Pidana dan Kriminolog Universitas Brawijaya (UB), Dr Prija Jatmika menyinggung, diferensiasi fungsional menyangkut kewenangan yang berbeda antara Kepolisian dan Kejaksaan.

polisi, jaksa bukan koordinasi saja tapi sinergi dalam rangka collecting evidence, atau pengumpulan barang bukti, jaksa dilibatkan setelah penyidikan,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia juga menyoroti RUU KUHAP yang menyebutkan bahwa pelaksanaan restorative justice hanya bisa dilakukan oleh JPU. Menurut Dr Prija Jatmika, hal tersebut sangat bertentangan dengan asas adil, cepat dan murah.

“Palang pintu penyidikan itu di kepolisian. Maka dari itu, restorative justice dalam RUU KUHAP seharusnya diatur di tingkat penyidikan saja,” ujarnya.

Jika penerapan restorative justice dilaksanakan di JPU, maka bertentangan dan tidak sesuai dengan asas adil, cepat dan biaya murah. Padahal restorative justice ini bertujuan menemukan jalan terbaik antara korban dan pelaku. Konsep keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali hak korban ke keadaan semula, bukan pembalasan.

“Kalau di JPU maka bukan restorative justice. Karena restorative justice itu harus dilakukan secepatnya. Kalau menunggu di JPU, maka harus menunggu pemberkasan di penyidik dulu,” ujarnya.

Pihaknya khawatir, apabila RUU KUHAP ini disahkan tanpa ada revisi, maka akan menimbulkan abuse of power atau tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi.

“Nanti polisi menyidik, jaksa menyidik, maka masyarakat akan bingung, penyidikan jadi kewenangan siapa. Padahal aturan di seluruh dunia sudah jelas, penuntut dilakukan jaksa, kalau penyidik polisi,” katanya.

Dia juga menyampaikan, dalam RUU KUHAP, ketika jaksa diberi kewenangan memeriksa, menuntut, melakukan penyidikan dan penetapan hukum atas kasus ideologi, keamanan dan sosial budaya, bukan lagi tanahnya pidsus namun ranahnya pidum.

“Ini tidak menjamin kepastian hukum dan bisa jadi konflik interest antara kepolisian dan kejaksaan tentang prestasi. Padahal kepolisian tidak bisa menuntut, sedangkan kejaksaan bisa. Nanti dikhawatirkan perkara dari polisi tidak diloloskan sedangkan perkara dari penuntut umum selalu dipercepat,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *