Melawan Kotak Kosong Dalam Pilkada 2024 di Indonesia Akan Menjadi Sejarah Demokrasi Kita

Oleh : Jacob Ereste

Okgassnews| Jakarta ~~~ Fenomena kotak kosong yang ramai dalam pelaksanaan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) tahun 2024 dapat dipahami keengganan warga masyarakat untuk ikut menjadi calon peserta untuk ikut bertarung dalam Pilkada sebagai gubernur, bupati maupun walikota.

Pertama, cukup kuat untuk diduga karena ongkos menjadi peserta Pilkada itu sangat mahal dan rumit.

Kedua, karena partai pengusung sudah habis diborong oleh satu pasangan kandidat yang memang sudah diunggulkan oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan kepala daerah yang terpilih itu adalah bagian dari perkongsiannya yang kelak akan memuluskan segala urusan.

Kalau pun ada diantaranya yang nekat mengikuti Pilkada lewat jalur independen — tidak melalui unggulan partai politik — ongkosnya pun cukup mahal karena harus memperoleh dukungan ratusan ribu suara langsung dari rakyat.

Artinya, faktor ongkos Pilkada yang mahal ini menjadi kendala utama bagi setiap orang yang berminat menjadi calon peserta Pilkada pada level manapun.

Besarnya ongkos untuk ikut menjadi peserta kontestasi dalam Pilkada ini, belum merinci dana saat kampanye hingga proses pemilihan dan keharusan untuk mengawal secara ketat saat perhitungan suara dilakukan.

Karena bayangan yang menghantui akan dicurangi oleh pihak lawan saling mengintai dan diintai.

Padahal, sebelumnya sangat besar peluang adanya skenario politik uang yang jor-joran dilakukan, sehingga kecurangan dalam perhitungan suara tidak terlalu mencemaskan. Meski begitu pun, toh masih tetap perlu waspada, sebab kemungkinan permainan dengan cara lain di bilik maupun di balik perhitungan suara pada tahap akhir penentuan, masih sangat mungkin ada peluang untuk dicurangi dengan menyulap hasil perhitungan suara yang sudah acap menjadi persoalan yang selalu dipersengketakan.

Kotak kosong yang cukup banyak dalam pelaksanaan Pilkada 2024 di Indonesia, akan menjadi catatan sejarah tersendiri, sekaligus menjadi bahan kajian yang menarik dari berbagai sudut pandang, termasuk dari ranah politik itu sendiri. Karena oleh jadi, ada kesalahan dari tata aturan Pilkada yang membuat keberatan untuk dipikul oleh calon kandidat, baik atas unjukan atau unggulan partai politik maupun bagi mereka yang ingin mengikuti Pilkada melalui jalur independen.

Dari perspektif politik, tentu saja fenomena dari banyaknya kotak kosong yang bakal menghiasi sejumlah daerah yang melaksanakan Pilkada pada tahun 2024 ini, merupakan kegagalan yang telak — mulai dari upaya mempersiapkan kader partai — dalam arti kualitas, integritas hingga kapasitasnya — untuk menjadi petarung sebagai unggulan dari partai, kiranya perlu dievaluasi ulang. Toh, selama ini gaung dari pendidikan dan pelatihan untuk kader politik hampir di semua partai politik yang ada, nyaris tidak terdengar suaranya. Karena itu, semacam sekolah politik khusus untuk kaderisasi seperti yang pernah hendak dilakukan oleh sejumlah partai politik perlu dipompa ulang semangat dan etos kejuangannya yang ideal untuk melahirkan kader-kader politik yang tangguh. Idealnya, tentu saja pelaksanaan pendidikan dan pelatihan politik ini tidak tertutup — atau hanya dibatasi untuk kader partai sendiri — karena partai akan lebih menarik dan memiliki nuansa demokratis yang lebih segar bila mengajak serta masyarakat umum. Sehingga bisa juga menjadi sarana promosi atau kampanye mengenai bobot idealisme yang diusung oleh partai.

Menyimak fenomena dari banyaknya kotak kosong yang bakal ikut bertarung dalam Pilkada 2024 di Indonesia, kalau pun bukan sebagai upaya dari rekayasa pihak-pihak tertentu, tetap saja tidak elok untuk menang, apalagi sampai kalah. Karena jalan keluar dari maksud utama pelaksanaan Pilkada dilakukan adalah menginginkan suatu perubahan agar dapat menjadi lebih baik dari kondisi maupun situasi kepemimpinan di daerah itu untuk masa depan.

Jadi, akibat psikologis dari Pilkada yang dimeriahkan oleh kotak kosong itu — kalau pun satu pasangan kandidat yang menjadi satu-satunya pasangan yang menang, tetap akan menimbulkan kesan yang tidak baik dalam konteks pesta demokrasi yang sesungguhnya. Jadi, apalagi kalau satu-satunya pasangan kandidat yang melawan kotak kosong itu sampai kalah –apalah kata dunia. Karena akibatnya, siap yang akan melanjutkan estafeta dari pemerintahan setempat.

Artinya, kalau saja pelaksana tugas kepala daerah setempat itu harus dilanjutkan oleh mereka yang ditunjuk, mungkinkah langkah ini tidak patut diduga sebagai bagian dari skenario alternatif untuk memperpanjang masa kekuasaan yang seharusnya sudah seharusnya digantikan oleh pejabat yang lain ?

Sehingga apapun dalihnya terhadap jumlah kotak kosong yang akan menjadi peserta Pilkada pada tahun 2024 di Indonesia adalah pertanda dari praktek kegagalan demokrasi di Indonesia, bila tidak dapat dikatakan sebagai perlawanan budaya masyarakat dengan caranya yang senyap. Sebab, jika murni kotak kosong dalam Pilkada 2024 ini tanpa rekayasa, kotak kosong pasti menang. Dan KPU maupun KPUD akan semakin pusing merumuskan jalan keluarnya yang terbaik, agar proses demokrasi di daerah tidak sampai mandek, apalagi harus mundur jauh ke belakang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *