okgassnews|Jakarta ~~Segala kebijakan yang dapat memicu kenaikan harga energi listrik harus dihindari oleh pemerintah dan DPR. Apalagi di masa transisi sekarang ini, pemerintahan akan berganti dua bulan lagi. Tidak mungkin pemerintahan sekarang membuat kebijakan yang dapat menjadi jebakan yang akan memberatkan pemerintahan ke depan di bidang energi.
Sementara memaksakan power wheeling masuk dalam RUU EBT jelas akan membebani subsidi APBN, dan beban tarif listrik masyarakat yang pasti akan mengalami kenaikan akibat kebijakan power wheeling tersebut. Akan terbukti nanti begitu kebijakan ini mulai dijalankan maka kendali atas listrik ada ditangan swasta dan segera setelah itu tarif listrik akan naik.
Apa sebab? Biaya per unit jaringan yang di unbundling melalui power wheeling akan bertambah. Selain itu beban jaringan di wilayah yang tidak menguntungkan akan berat. Selanjutnya akan ada kebutuhan besar mensubsidi listrik dari EBT, sementara listrik EBT dipatok harganya lebih mahal. Banyak faktor lain mengapa jaringan jika di wheeling kan akan mengacaukan keuangan PLN. Sementara PLN adalah BUMN yang keselamatannya merupakan urusan negara.
Apapun yang memicu kenaikan harga energi termasuk tarif listrik sangat membahayakan. Bayangkan bahayanya! Sekarang pengeluaran masyarakat untuk biaya BBM mencapai 1200 triliun rupiah setiap tahun, biaya listrik 450 triliun rupiah, maka biaya keduanya mencapai perkapita 6,2 juta rupiah setahun atau perkapita 17 ribu rupiah sehari. Artinya setiap penduduk Indonesia harus menanggung biaya BBM, LPG dan listrik sebesar 17 ribu rupiah sehari, setara dengan kebutuhan makan perkapita sehari 2100 kkl. Ini tentu gawat energi BBM, LPG dan Listrik merebut jatah makan penduduk Indonesia dan anak anak Indonesia. Sementara dari seluruh pengeluaran belanja energi nasional 30 % nya masih ditanggung APBN melalui subsidi dan kompensasi.
Lagi pula kenaikan biaya energi sangat membahayakan kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang sangat rentan. Di Indonesia ada sekitar 30 persen penduduk berpendapatan 3,2 dolar Purchasing Power Parity ($PPP) atau sebanyak 85 juta jiwa masyarakat miskin (lihat lampiran). Nilai 1 $ PPP setara dengan 4940 rupiah. Sehingga 3,2 $PPP sama dengan 15800 rupiah. Dengan demikian pengeluaran biaya energi BBM, LPG dan listrik perkapita sudah melebihi pengeluaran perkapita 82 juta lebih orang miskin untuk makan. Tidak layak menambah biaya ini dalam kehidupan ekonomi kita yang masih buruk.
Sebaiknya RUU EBT memfokuskan diri bagaimana menemukan energi baru terbaharukan dari sumber yang murah dan dapat dihasilkan oleh bangsa sendiri. RUU EBT harus dapat menghentikan impor BBM yang sekarang telah membuat bangsa kita terjajah oleh ketergantungan BBM impor. Selain itu transisi energi melalui EBT juga dapat memfokuskan mencari pengganti LPG impor yang sangat memberatkan subsidi APBN. Ada sumber energi biomasa yang sangat melimpah. Di sektor ketenagalistrikan EBT yang paling besar bisa dihasilkan dari hutan tanaman energi. Banyak sekali agenda EBT jika berfikir obyektif dan tidak memaksakan privatisasi jaringan listrik milik negara.
RUU EBT harus menjadi jalan keluar atas masalah kerentanan energi nasional kita dan ketergantungan oleh karena impor energi, impor BBM, Impor LPG, impor solar yang sangat memberatkan ekonomi negara. RUU EBT harus menjadi problem solving, bukan malah menambah ruwetnya beban subsidi APBN dan beban biaya energi masyarakat Aya aya wae.
Penulis: Salamudin Daeng